YALPK | Kediri – Aktivis GR-MKLB (Gerakan Rakyat-Menuju Kediri Lebih Baik), Rabu (06/11/2019), melakukan aksi turun jalan untuk menolak kenaikan iuran BPJS, serta menuntut pencabutan Perpres Nomor 75 tahun 2019, tentang Jaminan Kesehatan.
Para demonstran berkumpul di kawasan monumen Simpang Lima Gumul selanjutnya menggelar orasi di gedung DPRD Kabupaten Kediri. Sayangnya semua wakil rakyat sedang ada kegiatan bimbingan teknis di Kota Batu, sehingga demonstran hanya ditemui oleh Kabag Humas DPRD, Agus Suntoro, dan seorang Kabid di Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri.
Seusai menyampaikan aspirasinya, para demonstran pindah ke gedung wakil rakyat Kota Kediri, dan ditemui oleh Wakil Ketua DPRD, Katino, Amd. Menurut politisi dari Partai Gerindra ini, untuk jaminan kesehatan di Kota Kediri dibiayai dengan Prodamas.
“Namun kalau ada kenaikan iuran BPJS mencapai, maka akan menjadi beban APBD Kota Kediri. Untuk itu kami akan meminta supaya dilakukan pengkajian atas Perpres Nomor 75 tahun 2019 tersebut,” katanya.
Sementara itu, Ketua GR-MKLB, Drs. Rahmat Mahmudi, M.Si mengatakan, pihaknya menolak kenaikan tarif iuran BPJS sebesar 100%, karena akan semakin menambah biaya hidup rakyat, juga penderitaan rakyat di tengah situasi ekonomi Indonesia yang masih jauh dari kestabilan.
“Kondisi masyarakat masih banyak yang susah. Selama ini untuk membayar iuran BPJS saja banyak yang menunggak, apalagi kalau dinaikkan mencapai 100 persen. Maka akan lebih menyulitkan rakyat kecil,” katanya.
Rahmat juga mengirim permintaan ke Presiden Republik Indonesia untuk segera mencabut Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, karena bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.
“Makanya Perpres tentang jaminan kesehatan itu harus dicabut. Jangan menakut-nakuti rakyat yang susah ini. Sekarang mereka dihantui oleh dept colektor yang akan menagih tunggakan iuran BPJS. Dari pada untuk menggaji penagih, lebih baik digunakan menurunkan iurannya,” katanya.
Selain itu, pihaknya meminta Pemerintah Daerah Kabupaten Kediri khususnya, untuk segera memperbaiki pelaksanaan Jamkesda saat ini, membuat kembali MoU Jamkesda Kabupaten Kediri dengan RSUD Gambiran Kota Kediri, RSUD Iskak Tulungagung agar tidak ada lagi permasalahan nyawa rakyat tidak tertolong hanya karena jarak yang jauh menuju fasilitas kesehatan atau RS.
Pihaknya juga meminta pengalokasian anggaran yang cukup dan transparan untuk pos kesehatan rakyat, sehingga tidak terjadi lagi permasalahan kehabisan anggaran yang tentunya mengakibatkan program jaminan kesehatan tidak berjalan baik.
Sementara, Koordinator Lapangan Aksi Massa, Daniel Arisandi menyampaikan, hak atas kesehatan adalah hak asasi manusia yang fundamental demi terlaksananya hak asasi lainnya. Setiap orang berhak menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau, manusiwi dan berkualitas bagi kehidupan manusia yang adil dan beradab, sesuai dengan cita-cita bangsa, sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UUD 1945.
Hak atas kesehatan sebagai bagian dari seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Menjadi konsekuensi logis hak atas kesehatan harus dilindungi dan dipenuhi secara maksimal serta tidak ada tindakan yang bersifat mengurangi, menghalangi, membatasi, apalagi mencabut hak asasi tersebut.
Hak atas kesehatan secara tegas telah dijamin dalam instrumen hukum dan HAM, baik nasional dan internasional. Instrumen nasional merujuk pada ketentuan Pancasila dan UUD Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta UU Sistem Jaminan Sosial Nasional-UU SJSN.
Mereka juga menyampaikan kondisi sistem jaminan kesehatan rakyat di Indonesia (mh)