Lpk | Surabaya – Permasalahan Izin Pemakaian Tanah (IPT) di Kota Surabaya, atau yang biasa disebut Surat Ijo belum juga tuntas. Perjuangan warga terus berlanjut, sebab hingga menjelang akhir masa jabatannya, Risma tak kunjung melepas tanah Surat Ijo menjadi Surat Hak Milik (SHM).
Sejumlah warga pemegang Surat Ijo yang tergabung dalam Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS) pun menuntut keadilan. Lewat Pernyataan Sikap Nomor 0107/SP/XI/2020, KPSIS menjawab pernyataan Pemkot Surabaya tentang upaya penyelesaian Surat Ijo pada 27 Oktober 2020 dengan 15 poin.
“Berdasarkan pernyataan resmi Pemkot Surabaya soal masalah Surat Ijo pada tanggal 27 Oktober 2020, kami KPSIS sangat memahami untuk pengelolaan aset kota diperlukan perangkat hukum yang mengaturnya sehingga bisa lebih terbuka dan transparan serta bertujuan bagi kesejahteraan rakyat, baik berupa Peraturan Daerah maupun Peraturan Walikota yang telah dibentuk,”kata Harijono, Ketua KPSIS dalam konferensi pers yang diikuti LPK Nusantara Merdeka Senin (2/11/2020) pukul 18.00 WIB di Resto Hallo Surabaya Jl. Kartini Surabaya.
KPSIS pun menyatakan bahwa ketentuan Undang-Undang No. 1 tahun 2004 dan Peraturan 0emerintah No. 27 Tahun 2014 yang telah dibuat berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun 2011 yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang No. 15 tahun 2019 yang mengatur Barang Milik Daerah itu melanggar hukum.
Namun kemudian, KPSIS menilai bahwa selama ini Pemkot Surabaya telah menyembunyikan fakta sejarah pertanahan yang telah ada sejak zaman Belanda. Bahkan hingga saat ini, Pemkot dinilai kurang terbuka kepada masyarakat soal bagaimana cara mereka memperoleh tanah-tanah yang dikuasainya itu dalam Sistem Informasi Manajemen Barang dan Aset Daerah (Simbada).
Apalagi jika merujuk pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria pasal 44 dan 45 diketahui bahwa Pemkot Surabaya maupun Negara Republik Indonesia bukanlah pemilik tanah-tanah yang saat ini ditempati warga itu. Sehingga harusnya tanah-tanah dengan Surat Ijo itu harusnya telah bisa berubah menjadi SHM.
Untuk itu, KPSIS meminta Pemkot membuka kembali data-data kepemilikan mereka secara transparan untuk kesejahteraan rakyat. Harijono pun mengecam cara Pemkot mengakui wewenang kekuasaan atas tanah negara sebagai hak milik pemerintah.
“Untuk itu, harus dibuka dulu data-data dari Pemkot Surabaya. Apakah perolehannya selama ini tidak melanggar hukum serta Pemkot tidak mempertentangkan antara rezim kerugian negara dengan rezim kesejahteraan rakyat?” imbuhnya.
Oleh sebab itu, KPSIS dengan tegas meminta Pemkot segera menghentikan tagihan retribusi, tagihan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan (HPL), dan proses pengalihan HPL dikembalikan kepada negara dengan diikuti penerbitan sertifikat SHM kepada masyarakat pemegang Surat Ijo.
“Untuk itu Pemkot Surabaya harus bekerjasama dengan KPSIS untuk mendapatkan solusi terbaik bagi semua pihak dengan berdasarkan asas kesetaraan, keterbukaan, dan akuntabilitas publik,” pungkasnya.
Ketua Dewan Pembina KPSIS, Dr. Taufik Imam Santoso S.H., M.H menambahkan bahwa masyarakat tak ingin lagi masalah ini berlarut-larut. Ia pun meminta Pemkot mengakui kesalahannya dan bersama masyarakat mencari solusi terbaik.
“Sudah lah, Surat Ijo ini jangan dipakai untuk kajian politik, Pilkada. Surat ijo ini sudah selesai, sudah ada kebijakan, tinggal pelaksanaan,” katanya.
Sementara itu, Ketua KPSIS Sholeh Alhasni mengatakan bahwa pihaknya akan bekerjasama jika memang Pemkot bisa membuktikan jika tanah yang dikuasainya itu benar-benar tanahnya.
“Kalau itu memang tanah Pemkot, kami patuh. Kalau bukan tanahnya dan dijual ke kami, kan tambah salah. Jadi kami mau tunduk, mau patuh, tapi keterbukaan Pemkot kami tuntut sekarang ini. Kalau mereka terbuka, kami akan mengikuti aturan. Kalau tertutup kami terus ajukan gugatan ke PN, PTUN. Jadi kami tidak akan diam dan berjuang bersama,” tutupnya.
Pemegang Surat Ijo di Surabaya ada sekitar 48 ribu persil. Tanah itu telah ditempati warga lebih puluhan tahun lamanya. Namun hingga kini mereka masih harus membayar retribusi dan PBB yang kian naik setiap tahunnya. Hal ini lah yang menjadi keresahan warga pemegang Surat Ijo.
Sementara itu, sebelumnya Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Kota Surabaya Maria Theresia Ekawati Rahayu mengaku pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan Surat Ijo dengan mematuhi aturan yang berlaku.
Pertama, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang diganti dengan PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 28 Tahun 2020. Kedua, yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah yang diganti dengan Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 sebagai landasan hukum.
Ketiga, Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 1997 tentang IPT yang diganti dengan Perda Surabaya Nomor 3 Tahun 2016. Serta keempat adalah Perda Surabaya Nomor 13 tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Perda Kota Surabaya Nomor 2 tahun 2013. Dan, terakhir adalah Perda Kota Surabaya Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pelepasan Tanah Aset Pemkot Surabaya.
“Terhadap permasalahan izin pemakaian tanah (IPT), Pemkot Surabaya sudah melakukan upaya-upaya dalam rangka penyelesaiannya, baik upaya melalui pengadilan maupun di luar pengadilan,” kata Yayuk, Selasa (27/10/2020) lalu.
Bahkan sejak Maret 2020, ia mengaku Pemkot telah menghapus denda retribusi untuk mengurangi beban pemegang Surat Ijo.
“Jadi warga yang tidak sanggup membayar penuh boleh mengajukan keringanan dengan cara diangsur 12 kali dan itu sudah banyak,” tutupnya. (ir)