Lpk | Surabaya – Puluhan pelajar kota Surabaya mengadakan diskusi yang bertajuk “Refleksi Gerakan Pelajar & Bedah Buku Lelaki Di Tengah Hujan” Minggu (29/12) di Sentra Buku Kampoeng Ilmu Surabaya.

Hadir sebagai narasumber : Wenri Wanhar (Penulis Novel Sejarah “Lelaki Di Tengah Hujan”), Fadil Wiratama (Gerakan Pelajar Indonesia), Willy Soeharly (Sekretaris Pusat Posko Menangkan Pancasila), M. Sholikhudin dan Djoko Permono (Aktivis ’98)

Sebagai elemen dari basis Pelajar, Fadil mengatakan bahwa gerakan rakyat khususnya para pelajar di Indonesia pada rentetan aksi di tahun 2019 kemarin telah menunjukkan capaian yang luarbiasa. Gerakan pelajar sukses menjadi warna baru dalam elemen gerakan rakyat setelah sekian lama dibungkam.

Ia menjelaskan, pada sejarahnya pelajar di Indonesia telah berperan besar dalam turut berjuang memerdekakan Indonesia. Sejarah gerakan seluruh pelajar Indonesia adalah sejarah pergerakan perjuangan melawan pembodohan, dan penindasan. Intelektual muda—pelajar tidak pernah diam melihat keadaan riil sekitar yang tidak berpihak pada apa yang telah diajarkan kurikulum, setidak-setidaknya kemanusiaan.

Sementara itu, menurut Fadil dibalik besarnya gerakan pelajar yang turut mewarnai aksi di tahun 2019 ada beberapa hal yang perlu diperbaiki kedepannya. Menurutnya, gerakan pelajar di tahun ini tidak terorganisir dengan baik, semuanya bergerak secara sporadis dan tidak terpimpin. Hal ini menjadikan gerakan pelajar sangat mudah untuk dilemahkan. Gerakan pelajar kemarin masihlah berbasis moral dan solidaritas, kedepannya gerakan pelajar harus mampu menjadi gerakan yang revolusioner yang bergerak dalam satu wadah dan cita-cita yang sama. Perlu dibentuk organisasi di tingkat pelajar yang mampu mengisi kepala para pelajar sehingga tidak sebatas gerakan moral semata.

Senada dengan hal tersebut, Wenri Wanhar menjelaskan bahwa “Siapa yang sangka seorang pelajar Surabaya yang mondok di rumah seorang Tjokroaminoto di Gang Peneleh tidak jauh dari tempat ini, di kemudian hari menjadi salah satu tokoh sentral yang memimpin perjuangan kemerdekaan di Indonesia?”

“Saat masih seusia kalian, Soekarno sudah aktif melakukan diskusi-diskusi bersama kawan-kawannya. Dari diskusi itu mereka menyusun suatu cita-cita bersama, dan sehabis itu memperjuangkan secara konsisten cita-cita tersebut. Hingga pada akhirnya mereka mampu membangun kesadaran rakyat untuk melawan kolonialisme dan mencapai Indonesia merdeka.”, sambung Wenri.

Wenri juga menambahkan, kita semua termasuk para pelajar harus “Menanam kembali benih yang cocok untuk tanahnya”. Selama ini kita mengaku negara yang berdasar pada (tanah) Pancasila, tetapi tidak pernah menanam bibit yang cocok sehingga Pancasila sebagai tanah tidak pernah subur dan berbuah.

Menurut Wenri, bangsa ini sangat bangga menggunakan produk-produk dari luar negeri. Bangsa ini tidak pernah mau menggali sejarah bangsanya sendiri hingga menemukan potensi dan jati diri bangsa. “Benar yang disampaikan oleh Pak Djoko, kita harus Ubah Cara Pandang!”, pungkasnya.

Indonesia dulunya dikenal sebagai negeri Samudera, tapi hari ini tidak mampu berdaulat di tanah, air dan segala yang terkandung didalamnya. Indonesia dulu dikenal sebagai negara Agraris karena kesuburan tanahnya, tapi hari ini kita lebih bangga menjadi supir taksi dan ojek online ketimbang jadi petani. Indonesia dulu dikenal akan kebesaran Majapahit dan Sriwijayanya, tetapi hari ini bahasa Sansekerta tidak pernah dimasukkan dalam kurikulum pendidikan Indonesia.

Menutup pemaparannya, Wenri mengatakan ada tiga persoalan mendasar yang menjadi Pekerjaan Rumah para pelajar dan mahasiswa untuk diperjuangkan.

Pertama, Kurikulum pendidikan Indonesia masih mempertahankan dan mengedepankan mental inlander (memproduksi dan memperpanjang barisan perbudakan) hasil warisan kolonial. Gerakan intelektual harus mampu menggali dan merumuskan sistem pendidikan nasional yang sesuai cita-cita bangsa yaitu Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.

Kedua, Sistem hukum Indonesia masih menggunakan warisan kolonial Belanda yang menjadikan rakyat sebagai obyek penindasan aparatus negara.

Ketiga, Sistem politik Indonesia menggunakan sistem dari impor, padahal kita punya sistem politik dan sistem bernegara sendiri yang cocok dengan kultur sosial masyarakat Indonesia. Sistem yang kita anut sekarang hanya memberikan ruang kekuasaan ditangan modal dan terus menempatkan rakyat sebagai obyek legitimasi saja. ( ir )

Loading

364 Kali Dilihat

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *