YALPK | Surabaya –

Pertanyaan : 

Saya mempunyai permasalahan terhadap UU Fidusia, dimana saya ingin tau, apakah jaminan fidusia dapat dibuatkan tanpa ada pihak debitur? Bagaimana cara membedakan sertifikasi atau akta di fudisia yang asli dengan yang palsu?

Jawaban Kantor Hukum Gedung Graha 29 Tentang Jaminan Fidusia : 

Pengertian fidusia dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”) yaitu adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Sedangkan yang dimaksud dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.[1]

Orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek jaminan fidusia disebut sebagai pemberi fidusia. Sedangkan penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.[2]

Diterangkan di Pasal 2 UU Fidusia, bahwa UU ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia.

Jika ada benda yang dijaminkan dengan jaminan fidusia, harus dibuat dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia dengan dibebankan sejumlah biaya, akta itu disebut sebagai akta jaminan fidusia.[3]

Dalam akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya harus memuat:[4]

Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;

Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

Nilai penjaminan; dan

Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Berkaitan dengan poin b, Pasal 4 UU Fidusia yang menjelaskan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.

Karena jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan, berarti ada perjanjian pokok yang menjadi induk dari perjanjian jaminan fidusia. Sebagai contoh jika perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang piutang, maka jaminan fidusia bisa menjadi perjanjian ikutan dari perjanjian utang piautang tersebut.

Pada perjanjian utang piutang terdapat debitor dan kreditor. Dalam UU Fidusia, kreditor adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.[5] Sedangkan debitor adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang.[6]

Memang dalam UU Fidusia tidak diatur secara eksplisit adanya kewajiban pencantuman pihak debitor dan kreditor dalam akta jaminan fidusia. Namun jika kita cermati, kreditor dan debitor wajib disebutkan identitasnya dalam akta jaminan fidusia (sebagai pemberi dan penerima fidusia) jika dalam perjanjian utang piutang antara kreditor dan debitor memiliki perjanjian tambahan yaitu jaminan fidusia.

Debitor sebagai pihak yang memiliki utang, tentu ingin melunasi hutangnya kepada kreditor. Kembali pada prinsip bahwa jaminan fidusia yang merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian pokok, dalam hal ini semisal perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang piutang sebagaimana disebutkan di Pasal 7 UU Fidusia, utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa:[7]

Utang yang telah ada;

Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; atau

Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.

Dalam hal si debitor ingin berutang dengan menjaminkan bendanya sebagai objek jaminan fidusia, maka debitor disini disebut sebagai pemberi fidusia. Begitu juga dengan kreditor sebagai penerima jaminan fidusia. Maka pada kondisi yang demikian, debitor dan kreditor wajib untuk dicantumkan dalam akta jaminan fidusia (sebagai pemberi dan penerima jaminan fidusia).

Kehadiran Debitor dalam Membuat Jaminan Fidusia

Tentang bagaimana jaminan fidusia dibuatkan tanpa ada pihak debitor. Mungkin yang Anda maksud adalah kehadiran si debitor pada saat pembuatan akta jaminan fidusia. Dalam UU Fidusia tidak mengatur tentang keharusan para pihak untuk hadir pada saat membuat akta jaminan fidusia.

Tetapi jika ditelusuri, pada prinsipnya perjanjian yang dibuat di hadapan notaris akan menjadi suatu alat bukti yang kuat di kemudian hari dalam hal terjadi sengketa perdata, hal itu tercantum dalam Pasal 1902 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yang berbunyi:

Yang dinamakan bukti permulaan tertulis ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang yang terhadapnya suatu tuntutan diajukan atau dari orang yang diwakili olehnya dan yang kiranya membenarkan adanya peristiwa hukum yang diajukan oleh seseorang sebagai dasar tuntutan itu.

Sehingga dapat diketahui pentingnya sifat dari kehadiran para pihak dalam pembuatan akta tersebut, karena sangat penting untuk pembuktian di kemudian hari jika terjadi permasalahan hukum. Dengan kehadiran para pihak dalam pembuatan akta jamina fidusia tersebut dapat memperkuat pembuktiannya (untuk membenarkan telah terjadi suatu peristiwa hukum) jika suatu hari terjadi permasalahan hukum di pengadilan.

Menurut hemat kami, dalam pembuatan akta jaminan fidusia juga dapat diwakilkan, asalkan yang berkepentingan dalam hal ini debitor (pemberi kuasa) memberi kuasa kepada yang mewakilinya (penerima kuasa) untuk pembuatan akta jaminan fidusia.[8]

Sertifikasi Jaminan Fidusia

Kemudian mengenai perbedaan sertifikat asli dan palsu. Hal tersebut bisa dilihat di Pasal 14 ayat (1) UU Fidusia, bahwa sertifikat asli hanya diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia dan sertifikat itu diserahkan kepada penerima fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.

Sertifikat jaminan fidusia ialah merupakan salinan dari buku daftar fidusia memuat catatan tentang pernyataan pendaftaran, yaitu berupa:[9]

identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;

tanggal,nomor akta jaminan fidusia, nama, tempat kedudukan notaris yang membuat;

akta jaminan fidusia;

data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

nilai penjaminan; dan

nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Jaminan fidusia diatas lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia.[10] Dalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.[11] Kata-kata tersebut memiliki implikasi sebagai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[12]

Keuntungan memiliki sertifikat jaminan fidusia (asli), apabila debitor cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.[13]

Jadi menjawab pertanyaan Anda, cara mengetahui sertifikasi jaminan fidusia yang asli adalah dengan mengetahui apakah sertifikat tersebut dikeluarkan langsung oleh Kantor Pendaftaran Fidusia dan sertifikat tersebut mencamtumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

[1] Pasal 2 UU Fidusia

[2] Pasal 1 angka 5 dan 6 UU Fidusia

[3] Pasal 5 UU Fidusia

[4] Pasal 6 UU Fidusia

[5] Pasal 1 angka 8 UU Fidusia

[6] Pasal 1 angka 9 UU Fidusia

[7] Pasal 7 UU Fidusia

[8] Pasal 1792 KUH Perdata

[9] Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (2) UU Fidusia

[10] Pasal 14 ayat (3) UU Fidusia

[11] Pasal 15 ayat (1) UU Fidusia

[12] Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia

[13] Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia

(khgg29/red)

Loading

1,371 Kali Dilihat

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *