Lpk | Surabaya – Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Mei 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 4,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,25%. Keputusan ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar di tengah ketidakpastian pasar keuangan global, meskipun Bank Indonesia melihat adanya ruang penurunan suku bunga seiring rendahnya tekanan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama pada tahun 2020.
Bank Indonesia juga terus memperkuat bauran kebijakan yang diarahkan untuk memitigasi risiko penyebaran COVID-19, menjaga stabilitas pasar uang dan sistem keuangan, serta bersinergi dengan Pemerintah dan otoritas terkait dalam mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional.
Di samping langkah-langkah yang telah dilakukan, Bank Indonesia menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1.Menyediakan likuiditas bagi perbankan dalam restrukturisasi kredit UMKM dan usaha ultra mikro yang memiliki pinjaman di lembaga keuangan.
2. Mempertimbangkan pemberian jasa giro GWM kepada semua Bank.
3. Memperkuat operasi moneter dan pendalaman pasar keuangan syariah melalui instrumen Fasilitas Likuiditas Berdasarkan Prinsip Syariah (FLisBI), Pengelolaan Likuiditas Berdasarkan Prinsip Syariah (PaSBI), dan Sertifikat Pengelolaan Dana Berdasarkan Prinsip Syariah Antar Bank (SiPA).
4. Mendorong percepatan implementasi ekonomi dan keuangan digital sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi melalui kolaborasi antara bank dan fintech untuk melebarkan akses UMKM dan masyarakat kepada layanan ekonomi dan keuangan.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati dinamika perekonomian dan pasar keuangan global serta penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu, serta mengambil langkah-langkah kebijakan lanjutan yang diperlukan secara terkoordinasi yang erat dengan Pemerintah dan KSSK untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta pemulihan ekonomi nasional.
Pandemi COVID-19 menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia, sementara pengaruhnya terhadap ketidakpastian pasar keuangan dunia mulai mereda.
Sejalan meluasnya pandemi COVID-19 dan disertai berbagai upaya penanggulangan pembatasan aktivitas masyarakat, pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 di banyak negara di dunia menurun tajam.
Pertumbuhan ekonomi seperti di Tiongkok, Eropa, Jepang, Singapura, dan Filipina mengalami kontraksi di triwulan I-2020, sementara pertumbuhan ekonomi AS turun dalam menjadi 0,3%. Perkembangan April 2020 menunjukkan risiko resesi ekonomi global tetap besar tercermin pada kontraksi berbagai indikator dini seperti kinerja sektor manufaktur dan jasa serta keyakinan konsumen dan bisnis.
Perkembangan ini mengakibatkan volume perdagangan dunia mengalami kontraksi dan diikuti menurunnya harga komoditas dan harga minyak. Dengan proyeksi kontraksi ekonomi berlanjut sampai dengan triwulan III-2020, Bank Indonesia memprakirakan ekonomi global 2020 mencatat pertumbuhan negatif 2,2%.
Pertumbuhan ekonomi dunia diprakirakan kembali meningkat pada tahun 2021 menjadi 5,2% didorong dampak positif kebijakan yang ditempuh di banyak negara dan faktor base effect.
Sementara itu, ketidakpastian pasar keuangan global mulai mereda. Kondisi ini secara perlahan mendorong mulai berkurangnya intensitas aliran modal keluar dari negara berkembang dan kemudian diikuti menurunnya tekanan nilai tukar mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pandemi COVID-19 juga telah memengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2020 tercatat 2,97% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 4,97% (yoy).
Penurunan terutama berasal dari melambatnya ekspor jasa, khususnya pariwisata, konsumsi non-makanan, dan investasi, dengan sektor yang paling terdampak terjadi di sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR), sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, dan sub-sektor transportasi.
Sementara itu, kinerja komponen dan sektor yang terkait dengan penanganan COVID-19 tetap baik, seperti tercermin pada konsumsi pemerintah dan konsumsi rumah tangga untuk makanan kesehatan dan pendidikan, serta sektor informasi dan komunikasi, jasa keuangan, jasa kesehatan dan jasa lainnya.
Data April 2020 mengindikasikan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia berlanjut, seperti tercermin dari kembali menurunnya Survei Penjualan Eceran dan Purchasing Manager Index.
Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan menurun sejalan dengan dampak COVID-19. Pada 2021, pertumbuhan ekonomi diprakirakan kembali meningkat didorong ekonomi dunia yang membaik dan dampak positif stimulus kebijakan yang ditempuh.
Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan Otoritas terkait agar berbagai kebijakan yang ditempuh dapat makin efektif dalam mendorong pemulihan ekonomi selama dan pasca COVID-19.
Ketahanan sektor eksternal ekonomi Indonesia tetap baik. Defisit transaksi berjalan triwulan I-2020 menurun menjadi di bawah 1,5% PDB dari 2,8% PDB pada triwulan IV-2019.
Kondisi ini dipengaruhi menurunnya impor sejalan melambatnya permintaan domestik, sehingga meminimalkan dampak berkurangnya ekspor akibat kontraksi pertumbuhan ekonomi dunia.
Sementara itu, transaksi modal dan finansial mengalami penurunan signifikan karena besarnya aliran modal keluar akibat kepanikan pasar keuangan global terhadap pandemi COVID-19.
Aliran masuk modal asing kembali membaik mulai April 2020 didorong meredanya ketidakpastian pasar keuangan global serta tingginya daya saing aset keuangan domestik dan tetap baiknya prospek perekonomian Indonesia.
Investasi portofolio sejak April 2020 hingga 14 Mei 2020 mencatat net inflow 4,1 miliar dolar AS, setelah pada triwulan I 2020 mencatat net outflow 5,7 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa akhir April 2020 meningkat menjadi 127,9 miliar dolar AS, setara pembiayaan 7,8 bulan impor atau 7,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Bank Indonesia menilai posisi cadangan devisa ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah serta kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah.
Bank Indonesia memprakirakan defisit transaksi berjalan 2020 menurun menjadi di bawah 2,0% PDB, dari prakiraan sebelumnya 2,5%-3,0% PDB.
Nilai tukar Rupiah menguat seiring dengan meredanya ketidakpastian pasar keuangan global dan terjaganya kepercayaan terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Setelah menguat pada April 2020, Rupiah pada bulan Mei 2020 kembali mengalami apresiasi.
Sampai 18 Mei 2020, Rupiah menguat 5,1% secara rerata dan 0,17% secara point to point dibandingkan dengan level akhir April 2020.
Namun demikian, Rupiah masih mencatat depresiasi sekitar 6,52% dibandingkan dengan level akhir 2019 akibat depresiasi yang dalam pada Maret 2020.
Penguatan Rupiah didorong oleh aliran masuk modal asing dan besarnya pasokan valas dari pelaku domestik.
Bank Indonesia memandang level nilai tukar Rupiah dewasa ini secara fundamental tercatat undervalued sehingga berpotensi terus menguat dan mendukung pemulihan ekonomi.
Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar, Bank Indonesia terus mengoptimalkan operasi moneter guna memastikan bekerjanya mekanisme pasar dan ketersediaan likuiditas baik di pasar uang maupun pasar valas.
Inflasi tetap rendah dan mendukung stabilitas perekonomian. Inflasi IHK pada April 2020 tercatat 0,08% (mtm), lebih rendah dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 0,10% (mtm).
Inflasi yang rendah dipengaruhi oleh melemahnya permintaan sejalan dengan dampak COVID-19 serta tetap memadainya pasokan barang dan lancarnya rantai distribusi, seperti tergambar pada dinamika komponen inflasi. Inflasi inti menurun dipengaruhi konsistennya Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi sesuai target dan melambatnya permintaan domestik.
Kelompok volatile food mencatat deflasi terutama dipengaruhi oleh koreksi harga di beberapa komoditas akibat melambatnya permintaan serta memadainya pasokan.
Sementara itu, kelompok administered prices juga mencatat deflasi terutama didorong oleh berlanjutnya koreksi tarif angkutan udara. Dengan perkembangan tersebut, secara tahunan inflasi IHK April 2020 tercatat 2,67% (yoy), menurun dibandingkan dengan inflasi bulan lalu sebesar 2,96% (yoy).
Ke depan, Bank Indonesia terus konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk mengendalikan inflasi tetap rendah dan stabil dalam sasarannya sebesar 3,0%±1% pada 2020 dan 2021.
Koordinasi dengan Pemerintah tersebut termasuk dalam mengendalikan inflasi pada bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri 1441 H.
Kelancaran Sistem Pembayaran baik tunai maupun nontunai tetap terjaga. Pertumbuhan Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) tercatat melambat menjadi 6,3% (yoy) dipengaruhi strategi bank yang menyimpan lebih sedikit persediaan uang kartal.
Sementara itu, transaksi nontunai menggunakan ATM, Kartu Debit, Kartu Kredit, dan Uang Elektronik (UE) pada Maret 2020 menurun 4,7% (yoy), sejalan melambatnya aktivitas ekonomi.
Di sisi lain, transaksi UE pada Maret 2020 tetap tumbuh tinggi yakni 67,9% (yoy), dan volume transaksi digital banking juga tumbuh lebih cepat mencapai 60,8% (yoy).
Kedua perkembangan terakhir ini dipengaruhi meningkatnya transaksi ekonomi dan keuangan digital (EKD) di era pandemi COVID-19.
Ke depan, Bank Indonesia terus meningkatkan peran Sistem Pembayaran dalam mendukung upaya pemulihan ekonomi di periode pandemi COVID-19.
Untuk itu, Bank Indonesia terus mendorong digitalisasi layanan keuangan dengan memperluas akses dan literasi keuangan melalui pembayaran digital, termasuk kelanjutan dukungan BI pada penyaluran Program Bansos Non Tunai.
Sebagai persiapan menyambut Hari Raya Idul Fitri, Bank Indonesia terus memperkuat kesiapan operasional, kelancaran, keamanan, dan keandalan Sistem Pembayaran, baik yang diselenggarakan Bank Indonesia maupun Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, serta memastikan penyediaan Uang Layak Edar yang higienis.(ir)