Lpk | Surabaya – Kasus stunting balita aktif di Surabaya terus menurun, kini jumlahnya sudah 1.101 anak dari sekitar 1.600. Akan tetapi, sosialisasi kepada orang tua terus dilakukan, terlebih pada perubahan pola asuh dan pola hidup. Tak hanya dilakukan oleh Dinkes dan BKKBN, TNI AD bersama Mitranya juga turut mengedukasi masyarakat dengan menjadi bapak asuh stunting.
“Beberapa waktu lalu Dandim dikukuhkan Bu Gubernur sebagai bapak asuh stunting, tujuannya dari kita bisa memberikan perhatian terhadap anak-anak yang belum beruntung mengalami stunting. Kami memberikan bantuan susu, vitamin dan makanan yang sesuai dengan rekomendasi kesehatan,” kata Dandim 0830/Surabaya Utara Kolonel Inf Budi Handoko, S.Sos. kepada awak media, Selasa (25/10/2022) sore.
Kodim Se-surabaya bersama mitra, pemkot dan BKKBN saling mendata secara akurat anak-anak yang mengalami stunting di wilayah khususnya kota Surabaya. Ketika didapati, pihaknya akan mendatangi langsung ke rumahnya, kemudian diberikan bantuan dan edukasi, tuturnya.
“Bapak KSAD juga sudah dikukuhkan jadi bapak asuh stunting, artinya secara otomatis sampai jenjang paling bawah, pangdam, danrem, dandim, danramil juga. TNI AD dilibatkan pemerintah dalam percepatan penanganan stunting. Ini adalah tanggung jawab kita semua, anak-anak adalah generasi bangsa. Kami terus mengupayakan Berat badan cukup tinggi badan cukup,” jelasnya.
Sementara Satgas Stunting BKKBN Jatim yang ditugaskan di Surabaya, Tamy Nur Nabilah mengatakan, angka stunting balita aktif dari data Dinkes Surabaya ada 1.101, menurun dari 1.600-an. Penyebab stunting dari gizi dan pola asuh orang tua, terutama yang berat badan dan tinggi badan.
“Untuk penyebab pola asuh bisa diubah, kalau ngasih makan yang bergizi, mengajari pola hidup sehat cuci tangan sebelum dan sesudah makan. Simpel dan bisa diajarkan. Sepertinya mereka terlambat mengetahui anak mengalami stunting. Kebanyakan yang tahu saat menyadari anaknya tidak tumbuh-tumbuh dan setelah dibawa ke puskesmas ternyata stunting. Karena program ini juga baru tahun ini di boomingkan, stigma stunting itu ditakuti masyarakat, takut anaknya dicap stunting. Sosialisasi penting,” kata Tamy.
Ia menyebutkan ciri balita stunting mudah diketahui dari tinggi dan berat badan yang tidak sesuai dengan umur. Tapi tidak menutup kemungkinan ada penyakit penyerta yang menjadi penghambat asupan gizi kepada bayi.
“Dari BKKBN sendiri melakukan pendampingan hulu sampai hilir, dari catin, ibu hamil, pasca bersalin pun didampingi oleh BKKBN,” ujarnya.
Salah satu penerima bantuan, Nita warga Sukomanunggal merasa senang mendapatkan bantuan dan edukasi terkait dengan stunting. Sebab anaknya pernah mengalami stunting pada saat umur satu tahun, gejala yang dialami berat dan tinggi badan yang tidak berkembang.
“Alhamdulillah senang dan merasa terbantu, awalnya tidak menyangka si kecil kena stunting. Waktu itu ke puskesmas periksa ternyata tinggi berat badannya kurang. Sekarang anak umur 34 bulan. Baru setahun belum meningkat. Sekarang sudah normal untuk beratnya tinggal tingginya. Kemungkinan faktor keturunan, karena tinggi ibu dan bapaknya juga kurang. Sama tim medis juga terus dipantau,” tutupnya.
Reporter : Yanti