Lpk | Surabaya – Diskusi Publik dengan tema “Tantangan Penuntasan Pelanggaran HAM Di Tengah Menguatnya Rezim Otoritarian” yang diadakan LBH ( Lembaga Bantuan Hukum ) di Jl. Kidal No.6 Surabaya Selasa siang ( 3/12 ).
Menghadirkan Narasumber ;
Moch. Choirul Anam (Komisioner Komnas HAM), Asfinawati (Ketua YLBHI), Abd. Wachid Habibullah (Direktur LBH Kota Surabaya).
Moch. Choirul dalam memberikan pemaparannya “Memerangi radikalisme itu salah karena hanya akan membangun intoleransi dan hanya akan menimbulkan dendam secara turun temurun, yang lebih penting seharusnya membangun toleransi dengan membuka ruang diskusi,”.
“Pelanggaran HAM yang berat seperti kasus di Wamena sampai saat ini menjadi salah satu kasus yang belum terselesaikan, ada 11 kasus yang saat ini berhenti di Jaksa Agung dimana karakter pelanggaran HAM berat harus dibuktikan secara sistematis, pelanggaran HAM ada karena adanya suatu kebijakan salah satunya karena sering diberlakukan operasi militer yang melibatkan TNI dan Polri, masalah pelanggaran HAM paling besar yang hingga saat ini belum ada proses penyelesaian secara hukum adalah kasus 1965,” tuturnya.
Petrus 1982 tidak selesai tetapi salah satu penentu kebijakan sampai saat ini masih hidup yaitu Bapak Sudomo, Pemerintah RI terkesan mengulur waktu yang pada akhirnya pelaku tidak diproses secara hukum dan kasus ditutup begitu saja tanpa mempertimbangkan nasib korban serta saksi yang meninggal pada saat terjadi pembantaian, tambahnya.
Di Papua selama 5 tahun operasi militer dilakukan oleh aparat yang menimbulkan banyak korban tidak ada proses hukum dan hanya diselesaikan dengan upacara bakar batu, tuturnya.
“Untuk menyelesaikan banyaknya kasus HAM maka jalan keluar harus dikeluarkan Perpu, Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan amnesti untuk para korban HAM tetapi kenapa para pelaku dan Pemerintah tidak mau meminta maaf,” ucapnya.
Pemerintah RI harus membentuk Tim Independen untuk mengungkap dan menyelesaikan kasus HAM yang sampai saat ini belum mampu diselesaikan oleh Pemerintah, komitmen Presiden Jokowi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masih harus dipertanyakan, masih banyak yang meragukan Presiden Jokowi akan mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, untuk lebih memperjelas apakah Jokowi mampu menyelesaikan pelanggan HAM berat, bisa dipilih responden terutama di Papua dan Aceh, tegasnya.
Asfinawati narasumber kedua memaparkan “Peradilan yang tidak adil, ditangkap semena – mena, disuruh untuk mengakui yang tidak sesui fakta di lapangan adalah cara – cara yang melanggar HAM”.
“Konflik agraria yang melibatkan 12 ribu hektar tanah yang merupakan untuk kepentingan rakyat dan bekerja, tetapi rakyat selalu kalah dan menjadi korban, hak keberagaman dan pelarangan tempat ibadah oleh kelompok tertentu juga menjadi kasus pelanggaran HAM yang tidak ada penyelesaiannya,”
10 Fraksi di DPR RI yang sepakat terhadap revisi RUU (Rancangan Undang Undang) yang menyetujui adalah dari Partai Nasionalis yang tergabung di dalam kubu pemenang, ini membuktikan bahwa suara bisa dipesan termasuk dalam pemilihan Ketua KPK yang baru, jelas ada permainan politik dan andil partai sangat besar, tambahnya.
“Masalah LGBT yang selalu dikaitkan dengan PKI bahkan LBH juga dibilang sebagai PKI atau separatis karena membela Papua, seperti halnya orang yang belajar ilmu agama belum tentu jadi teroris, atau disebut radikalisme, tetapi demi menjadi otoriter harus menciptakan musuh bersama maka diciptakan hoak dengan dimunculkan kata radikal,” mengakhiri sebagai narasumber.
Narasumber yang ketiga Abd. Wachid Habibullah juga memaparkan “Pembangunan di Prov Jatim sangat jauh dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti pembangunan Suramadu dimana ada pembebasan lahan 30 hektar yang menimbulkan gejolak di masyarakat Madura terutama Kab. Bangkalan, pembebasan lahan 30 hektar tersebut dalihnya adalah untuk pembangunan untuk kepentingan umum tetapi tanpa disadari telah terjadi perampasan lahan oleh Pemerintah secara sepihak.
“Pengeboran minyak di Kab. Sumenep juga menimbulkan gejolak masyarakat dimana mayoritas masyarakat Kab. Sumenep menolak pengeboran minyak tersebut, tetapi penolakan masyarakat itu ternyata tidak pernah menjadi perhatian serius oleh Pemerintah dan tanpa disadari telah melanggar hak masyarakat,”tambahnya.
“Kebijakan Presiden Jokowi tentang agraria dengan program pembebasan lahan untuk rakyat sama sekali belum terlihat dampak positifnya karena diisi lain Pemerintah demi untuk pembangunan juga melakukan perampasan lahan,”tuturnya.
Masalah Papua setiap tahun yaitu tanggal 1 Desember kawan-kawan Papua selalu mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan, pada tanggal tersebut selalu dikepung oleh aparat sehingga tidak bisa keluar, meskipun tidak ada penangkapan tetapi apa yang dilakukan aparat adalah sebagai bentuk tindakan represif, hal ini selalu dialami oleh kawan-kawan Papua di Kota Surabaya dan Malang serta daerah lain, katanya.
“Masalah lain adalah adanya kesenjangan upah di bidang perburuhan dimana penetapan UMK (Upah Minimum Kab/Kota) sangat tidak adil antara daerah yang satu dengan yang lainnya, UMK yang ada saat ini telah menciptakan disparitas upah yang sangat besar dan sampai saat ini belum ada solusi yang sesui dengan keinginan buruh serta pekerja,” tutupnya .
Bahwa Diskusi Publik dengan tema “Tantangan penuntasan pelanggaran HAM di tengah menguatnya Rezim Otoritarian” membahas tentang berbagai permasalahan HAM yang belum terselesaikan hingga saat ini sehingga meminta kepada Pemerintah agar dibuatkan Perpu. ( ir )