Lpk | Sidoarjo – Bupati Sidoarjo Ahmad Mudhlor (Gus Muhdlor) minta kepada masyarakat Sidoarjo agar tidak lagi mengkonsumsi air tanah yang mengandung logam berat timbal (Pb) yang kadarnya melebihi batas aman. Karena, itu menjadi salah satu penyebab stunting atau anak dengan tinggi di bawah rata-rata.
Gus Muhdlor menyebutkan, kasus stunting di Sidoarjo disebabkan karena masyarakat yang berada di wilayah itu masih mengkonsumsi air tanah atau air sumur yang tidak layak konsumsi karena mengandung logam berat timbal (Pb) lebih dari standar ukuran yang diperbolehkan pemerintah. Perkembangan kasus stunting di Kabupaten Sidoarjo sendiri saat ini sudah menurun dari 28 persen di tahun 2018 turun menjadi 14 persen di tahun 2022.
Angka 14 persen tersebut berdasarkan hitungan anak antara usia 0-59 bulan atau anak dibawah 5 tahun yang jumlahnya kurang lebih sekitar 34 ribu anak. Untuk kasus stunting yang disebabkan karena gizi buruk jumlahnya lebih kecil dibanding kasus stunting karena mengkonsumsi air tanah yang mengandung Pb atau timbal yang melebihi ambang batas aman.
Di dalam Permenkes RI Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 dijelaskan, dimana kandungan timbal (Pb) dalam air yang aman untuk dikonsumsi 0,1 mg/liter.
“Catatan kami, bahwa stunting di Sidoarjo itu buka karena gizinya, tapi edukasi di masyarakat yang mana masyarakat itu masih mengkonsumsi air tanah,” ujar Gus Muhdlor usai membuka acara Hari Gizi Nasional ke-62 di Aston Hotel. Rabu, (9/3/2022).
Menurut Gus Muhdlor, air tanah di Sidoarjo ini kadar Pb nya tinggi, sebagai bentuk konsekuensi karena beberapa wilayah Sidoarjo sudah menjadi daerah industri. “Jadi polusi karbonnya tinggi, oleh karena itu ini yang harus kita edukasikan di masyarakat lewat gerakan Germas. Edukasi di masyarakat harus diperbanyak, hidup sehat, gizi cukup dan menghindari mengkonsumsi air tanah,” jelasnya.
Dari 18 Kecamatan di Sidoarjo, dua kecamatan yang saat ini masih tinggi angka stuntingnya. Dari 14 persen kasus stunting di Sidoarjo yang paling banyak adalah di Kecamatan Jabon dan Krembung.
Total ada 24 desa yang butuh intervensi dari Pemkab Sidoarjo untuk menurunkan kasus stunting. Yang paling banyak ada di Kecamatan Jabon dan Krembung. Selain edukasi, intervensi lainnya adalah menjamin pemenuhan gizi kepada mereka.
“24 desa itu akan kita intervensi secara gizi, tetapi sekali lagi saya sampaikan di Sidoarjo petanya bukan karena gizinya saja, tetapi karena masyarakat menyamakan dengan sekian tahun yang lalu menganggap air tananhnya masih bisa dikonsumsi, ini yang akan kita edukasi,” tuturnya.
Sementara itu, Kepada Dinas Kesehatan drg. Syaf Satriawarman merinci intervesi apa saja yang akan ambil. Pendekatan menurut Syaf melalui dua hal. Pertama menggerakkan semua stakeholder lintas instansi kemudian gencar melakukan edukasi dan membantu pemenuhan gizi.
Beberapa waktu yang lalu, Syaf rapat koodinasi dengan Satgas Penakib yakni tim percepatan satuan tugas yang mengurusi angka kematian ibu dan anak. “Ternyata sedang diurus Kepres yang nanti akan menggabungkan antara penanganan angka kematian ibu dan anak serta penangana stunting,” katanya.
“Karena itu saya minta kemarin dari pengurus Penakib itu untuk merangkul semua OPD terkait penanganan Stunting. Karena tidak mungkin orang kesehatan saja yang mengurusi stunting,” ucapnya.
Kemudian langkah kedua yang akan dilakukan melakukan sosialisasi dan edukasi agar bagaimana masyarakat itu tidak menggunakan air tanah untuk konsumsi. “Air tanah dipakai untuk mandi dan cuci masih tidak ada masalah. Tapi kalau untuk konsumsi jangan,” kata Syaf.
Di Kecamatan Jabon yang airnya yang mengandung Pb pernah mendapat intervensi dari Pemkab Sidoarjo dengan menyediakan air bersih PDAM. Masyarakat diberi akses air bersih PDAM gratis dua bulan tapi sayangnya untuk melanjutkan itu masyarakat tidak mau membayar retribusi air bersih.
Oleh karena itu, Dinas Kesehaan Sidoarjo akan melakukan uji latkes, karena dinas kesehatan Sidoarjo mempunyai laktkesda yang bisa menguji air tanah. “Kami akan menguji kadar air tanah di 24 desa yang saat ini terdapat kasus stunting,” kata Syaf.
Untuk kasus obesitas di Sidoarjo angkanya relative kecil, 3,9 persen. Yang dimaksud obesitas disini kategori anak usia 0-59 bulan, di bawah 5 tahun.
Penyebanya kata Syaf, karena orang tua yang merasa bangga kalau anaknya gemuk, padahal itu obesitas karena asupan yang masuk ke bayi bukan ASI yang idealnya dilakukan selama 2 tahun. “Lebih banyak kasus ini terjadi karena kedua orang tuanya sibuk bekerja, anaknya diberi makanan tambahan seperti susu formula dan asupan lainnya yang kadar ukurannya berlebihan. Ini akan kita intervensi dengan pemberian edukasi dan sosialisasi melalui Germas,” jelas Syaf.
Reporter : Edy