YALPK | Surabaya – Komisi Pengawasan Persaingan Usaha ( KPPU ) gelar sidang pembacaan putusan pelayanan jasa bongkar muat petikemas di wilayah Pelabuhan L. Say Maumere, yang dilakukan oleh PT Pelabuhan Indonesia (III) Persero. Sidang yang digelar hari Jum’at pukul 09.00 WIB di Gedung Bumi Mandiri Jalan Basuki Rahmad No.123-127 Lt.7 Surabaya dinyatakan terbukti bersalah.
Melalui Majelis Komisi yang terdiri dari Kodrat Wibowo, S.E., Ph.D. sebagai Ketua Majelis Komisi; Ukay Karyadi, S.E., M.E. dan Dr. M. Afif Hasbullah, S.H., M. Hum. masing-masing sebagai Anggota Majelis, telah selesai melakukan pemeriksaan terhadap Perkara Nomor 15/KPPU-L/2018.
“Menyatakan Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) huruf (b) dan atau Pasal 19 huruf (a) dan (b) UU No.5/ 1999 terkait Pelayanan Jasa Bongkar Muat Petikemas pada Terminal Serbaguna/ Konvensional/Umum (multipurpose) di Pelabuhan L. Say Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur”.
Bahwa perilaku Terlapor dalam perkara a quo, bukan merupakan perbuatan yang dikecualikan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 50 huruf a jo. Pasal 51 UU No. 5/1999. Pertimbangan Majelis Komisi adalah sebagai berikut:
Bahwa dalam rangka mengawasi pemenuhan aspek persaingan usaha dan menjalankan perintah UU No. 5/1999, KPPU berwenang mengawasi perilaku persaingan usaha tidak sehat di lingkungan kepelabuhanan.
Bahwa meskipun Terlapor sebagai BUP yang mendapat hak konsesi dari Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan pengusahaan di pelabuhan, perilaku Terlapor yang menetapkan kebijakan penataan pola pelayanan petikemas secara jelas dilatarbelakangi dan diinisiasi oleh Terlapor. Kebijakan tersebut bukan merupakan suatu kebijakan dari Pemerintah, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang.
“Bahwa oleh karena itu, tindakan yang dilakukan oleh pemegang hak monopoli yang bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, tidak dapat dikecualikan dari ketentuan Pasal 50 huruf (a) jo. Pasal 51 UU No. 5/1999″.
Selain menyatakan bersalah dan memerintahkan untuk menghentikan bongkar muat petikemas di wilayah Pelabuhan L. Say Maumere, oleh Pelindo III, ” Ketua Majelis juga memberikan hukuman denda kepada Pelindo III sebagai pelapor dengan membayar denda sebesar Rp 4.200.000.000 yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank pemerintah”.
Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang meringankan bagi Terlapor, yaitu Terlapor telah bersikap kooperatif selama proses persidangan, Terlapor berupaya
aktif untuk menyelesaikan keberatan para pengguna jasa dan/atau konsumen di Pelabuhan L. Say Maumere; Keterangan Saksi-Saksi yaitu pengguna jasa dan/atau konsumen dalam persidangan yang merasakan manfaat adanya penataan pola pelayanan petikemas di Pelabuhan L. Say Maumere, tegasnya.
” Keputusan Komisi dalam jangka waktu 14 hari kerja setelah menerima salinan dan petikan putusan komisi sidang majelis komisi pembacaan Perkara Nomor 15/KPPU-L/2018 dinyatakan selesai”.
Pihak pelapor setelah putusan dibacakan dan diketok oleh Majelis Komisi tidak bersedia di wawancari oleh awak media.
Foto : Arnold Sihombing Investigator Penuntut, saat diwawancarai awak media setelah sidang keputusan
” Kebijakan terlapor Pelindo III dalam menata pelabuhan khususnya peti kemas di pelabuhan Maumere itu menimbulkan dampak kebijakannya spesifiknya adalah Wajib Stack penumpukan peti kemas dilapangan penumpukan padahal status Pelabuhan itu pelabuhan bukan pelabuhan petikemas, melainkan pelabuhan multipurpose atau konvensional atau umum,” tutur Arnold Sihombing Investigator Penuntut memberikan keterangan setelah sidang keputusan selesai.
Dengan kebijakan Wajib Stack itu
itu seolah-olah mengatakan kepada konsumen Pelindo III yakni Perusahaan Pelayaran MKL sebagaimana
dijelaskan itu menata pelayanan jasa
bongkar muat itu layaknya terminal petikemas sehingga ada konsekuensinya, konsekuensinya adalah kenaikan biaya layanan jasa seharusnya extrimnya hanya ada lima komponen biaya menjadi lebih dari lima, karena memang itu standrat tarif yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan , dan tarif tidak ada yang naik sebagaimana dalil yang kemukakan oleh pelapor dalam persidangan.
Untuk kawasan pelabuhan di Indonesia timur seperti yang objek di perkara ini seharusnya tidak perlu karena dilihat dari fakta nya setelah penerapan dalam penerapan kebijakan itu tidak berdampak kepada naiknya volume keluar masuk sandar kapal tidak meningkatkan volume masuknya peti kemas dan juga tidak konsisten sebagai standar yang ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan, tutupnya. ( ir )