YALPK | Surabaya – “Putusan PK Baiq Nuril sudah keluar dan MA menyatakan menolak. Nuril dinyatakan (tetap) bersalah karena melanggar UU ITE pasal 27 (1) tentang muatan yang melanggar kesusilaan. Diharapkan melalui putusan ini dapat menjadi pembelajaran bagi Terdakwa pada khususnya maupun masyarakat Indonesia pada umumnya agar dapat lebih berhati-hati dalam memanfaatkan dan menggunakan media elektronik, terlebih lagi yang menyangkut data pribadi seseorang ataupun pembicaraan antar personal, dimana pemanfaatan dan penggunaannya harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan”. Begitu caption yang sempat muncul di media online.
Pasal 27 ayat 1 UU ITE berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” (Definisi kesusilaan walaupun tidak dijelaskan dalam undang-undang, namun merujuk pendapat para ahli,saya setuju bahwa kalimat yang ada didalam rekaman telah terpenuhi sebagai pelangaran kesusilaan). Dalam pejelasan pasalnya diatur yang dimaksud “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik,“mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik, “membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. Artinya syarat utamanya adalah dapat diketahui pihak lain atau publik.
Membaca pertimbangan putusan MA dengan Terdakwa Baiq Nuril bagi saya yang menarik adalah kronologis bagaimana rekaman yang dilakukan Nuril tersebar sebagai berikut: saksi HIM yang merupakan teman Terdakwa mendatangi Terdakwa beberapa kali meminta isi rekaman percakapan Terdakwa dengan korban dengan alasan sebagai bahan laporan ke DPRD Mataram. Setelah menyimpan rekaman tersebut selama setahun akhirnya Terdakwa menyerahkan handphone miliknya yang berisi rekaman pembicaraan tersebut, kemudian HIM menyambungkan kabel data antara handphone milik Terdakwa ke laptop miliknya. Setelah rekaman ‘digandakan” ke laptop kemudian HIM memindahkan, mengirimkan, mentransfer isi rekaman suara tersebut ke laptop milik saksi lainnya. Dalam kronologisnya tercatat bahwa pada awalnya Terdakwa tidak bersedia untuk menyerahkan pembicaraan tersebut kepada saksi HIM namun akhirnya Terdakwa bersedia menyerahkan rekaman percakapan yang ada di handphone milik Terdakwa tersebut karena Terdakwa sebelumnya menyadari dengan sepenuhnya bahwa dengan dikirimnya dan dipindahkannya atau ditransfernya isi rekaman pembicaraan yang ada di handphone milik Terdakwa tersebut ke laptop milik Terdakwa besar kemungkinan dan atau dapat dipastikan atau setidak-tidaknya saksi Haji Imam Mudawin akan dapat mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa isi rekaman pembicaraan yang memiliki muatan pelanggaran kesusilaan” Poin berikutnya juga tercatat “bahwa ternyata beberapa saat kemudian saksi HIM telah meneruskan, mengirimkan dan/atau mentransferkan isi rekaman pembicaraan yang melanggar kesusilaan tersebut kepada saksi M, kemudian oleh saksi M mengirim, mendistribusikan lagi isi rekaman pembicaraan tersebut ke handphone milik Muh dan demikian seterusnya ke handphone L W, Hj. ID, S, HI dan Han. Akhirnya rekaman tersebut beredar, dan Nuril dinyatakan bersalah.
Menurut penjelasannya syarat utama dari pasal 27 (1) adalah bahwa informasi atau dokumen elektronik yang mengandung kesusilan dapat diketahui pihak lain atau publik. Kesimpulannya siapa yang dianggap melanggar pasal ini? Ya orang yang melakukan distribusi, transmisi dan membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan. Menyimpan dalam perangkat milik pribadi tidak membuat satu informasi atau dokumen elektronik diketahui publik. Dalam penjelasan kronologis jelas bukan Nuril yang melakukan transmisi (dari hp ke laptop). Nuril hanya menyerahkan handphonenya dengan harapan sebagaimana yang disampaikan temannya bahwa rekaman ini akan menjadi bahan laporan ke DPRD. Bukan untuk disebarkan ke publik.
Menyimpan bukti elektronik tidak sama dengan melakukan distribusi, transmisi dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik. Bukti elektronik merupakan alat bukti yang sah (pasal 5), artinya segala informasi dan dokumen elektronik yang dimiliki dapat menjadi alat bukti sehingga menyimpannya bukan merupakan suatu pelanggaran selama informasi dan atau dokumen elektronik tersebut didapatkan dengan cara yang tidak melanggar undang-undang.
Dalam pertimbangan putusan MA diharapkan penjatuhan pidana kepada Nuril dapat menjadi pelajaran bagi Nuril dan masyarakat “agar dapat lebih berhati-hati dalam memanfaatkan dan menggunakan media elektronik, terlebih lagi yang menyangkut data pribadi seseorang ataupun pembicaraan antar personal, dimana pemanfaatan dan penggunaannya harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan” . Menurut saya, hal tersebut jauh lebih tepat apabila disampaikan pada kasus penyadapan, atau perlindungan data pribadi.
Rekaman yang dilakukan Nuril bukan merupakan penyadapan sebagaimana yang dimaksud pasal 31 UU ITE, karena: 1. Nuril adalah lawan bicara dalam percakapan tersebut 2. Merekam berbeda dengan menyadap. Dalam KBBI arti menyadap ialah mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. Dalam penjelasan pasal 40 UU no 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dinyatakan “yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang”. Jelas Baiq ada dalam percakapan dan tidak termasuk melakukan penyadapan.
Semoga tulisan ini dapat mengurangi “skeptisisme” masyarakat terhadap UU ITE walaupun upaya hukum atas kasus Nuril telah diputuskan semua karena dalam komentar di media sosial banyak yang menganggap UU ITE memiliki pasal karet atau menjadi “jebakan Batman” bagi pengguna internet. Pandangan ini sudah tumbuh dan berkembang selama masa pilpres kemarin. Sebagai warga negara kita memiliki hak untuk memanfaatkan teknologi. Walaupun tidak sempurna, peraturan perundangan kita telah disusun sedemikian rupa untuk melindungi kepentingan masyarakat dan negara. Tinggal bagaimana penegakannya yang tidak boleh terlepas dari 3 tujuannya yaitu untuk kepastian, kemanfaatan dan memberikan rasa keadilan dalam masyarakat. ( ir )
“Peninjauan (Kasus Baiq Nuril) Kembali”