Lpk | Surabaya – Ekonom Muhammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE dan Tauhid Ahmad Direktur Eksekutif Indef menyatakan RAPBN 2022 belum sempurna. Hal tersebut disampaikan dalam Zoominari Kebijakan Publik yang dipandu oleh Pakar Kebijakan Publik dan Co-founder Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menegaskan bahwa anggaran kesehatan yang tidak digenjot di 2022 akan mengancam ekonomi anjlok kembali di tahun depan.
“Saya rasa tak ada yang bisa menjamin 2022 tak ada lonjakan (COVID). Kita semua tentu tidak ingin karena berdampak ke masyarakat, ke perekonomian. Tapi tidak lantas menutup kemungkinan di 2022 tidak akan terjadi lonjakan,” kata Faisal saat webinar di Narasi Institute, Jumat (20/8/2022)
Faisal berkaca pada APBN 2021 kemarin dimana sama bahwa RAPBN 2022 sudah antisipatif namun belum pre-emptive sehingga akan terulang kembali dimana kejadian lonjakan varian delta di 2021 membuat pemerintah harus mengalokasikan anggaran lagi untuk penanganannya sehingga berdampak ke perekonomian termasuk kalau terjadi lonjakan di 2022.
“Sampai Semester 1 2021, COVID-19 di Indonesia sempat mengalami penurunan. Namun tiba-tiba ada lonjakan atau gelombang kedua pertengahan Juni 2021. Adanya lonjakan di 2021 membuat pemerintah harus mengalokasikan anggaran lagi untuk penanganannya. Sehingga berdampak ke perekonomian termasuk kalau terjadi lonjakan di 2022. Artinya tidak ada yang bisa memprediksi dan ketika itu terjadi ini dampaknya tekanannya ke ekonomi, terhadap juga APBN karena pemerintah harus menambah lagi biaya untuk perlindungan sosial, kesehatan dan lain-lain,” ujar Faisal.
Faisal mempertanyakan kenapa anggaran PEN 2022 malah menurun khususnya untuk kesehatan dan perlindungan sosial. Ia menegaskan kalau anggaran diturunkan bakal menjadi permasalahan baru kalau terjadi lonjakan COVID-19 di 2022.
“Untuk hindari lonjakan COVID19 di 2022 seharusnya Vaksinasi harus terus didorong, bahkan kalau bisa dengan jenis vaksin lebih bagus kalau ingin mencegah kejadian lonjakan pandemi yang ber-impact ke ekonomi. Secara keseluruhan sektor kesehatan dianggarkan Rp 255,3 triliun. Angka tersebut masih lebih rendah dibanding untuk infrastruktur yaitu Rp 384,8 triliun” Ujar Faisal.
Target Kemiskinan Pemerintah 2022 Dianggap Tak Realistis
Dalam RAPBN 2022, Pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan dalam RAPBN 2022 turun ke level 8,5% hingga 9%. Namun, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai target tersebut tidak realistis, karena berada di bawah kondisi sebelum pandemi.
“Saya susah mencerna target penurunan kemiskinan ini karena ditargetkannya 8,5% sampai 9%. Bahkan sebelum pandemi pun kita tidak pernah serendah itu,” kata Faisal dalam sebuah diskusi Narasi Institute, Jumat (20/8).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan terendah tercatat pada periode September 2019 sebesar 9,22%. Angka ini masih lebih tinggi dari target pemerintah dalam RABPBN 2022. Bahkan sepanjang 1996 hingga 2017, tingkat kemiskinan tidak pernah berada di bawah 10% sekalipun trennya terus menunjukkan penurunan sejak 2006.
Target tersebut kata Faisal semakin tidak realistis pasalnya pemerintah justru menurunkan anggaran perlindungan sosial (Perlinsos) pada program pemulihan ekonomi nasional (PEN) tahun depan. Menurutnya, berbagai bantuan sosial (bansos) pada program perlinsos jadi salah satu pilihan darurat untuk menahan lonjakan angka kemiskinan.
“Dalam kondisi resesi seperti ini, mau tidak mau bansos adalah bagian dari tangga darurat untuk menciptakan penyelamatan, karena tidak mungkin menciptakan lapangan pekerjaan dalam kondisi dimana ekonomi sedang tertekan,” ujarnya.
Pemerintah dalam RAPBN 2022 mengalokasi anggaran PEN tahun depan sebesar Rp 321,2 triliun, yang diambil dari belanja pemerintah pusat. Dua klaster yang masih menjadi prioritas yakni anggaran kesehatan Rp 148,1 triliun dan perlinsos Rp 153,7 triliun.
Anggaran dua klaster tersebut dipangkas, perlinsos tahun depan dikurangi Rp 32,94 triliun dari pagu tahun ini Rp 186,64 triliun, sementara kesehatan pemangkasanya lebih besar lagi hingga Rp 66,85 triliun dari pagu Rp 214,95 tahun ini.
Pada indikator kesejahteraan lainnya, Faisal menyebut target penurunan pengangguran pemerintah tahun depan masih lebih realistis. Presiden Jokowi juga menargetkan tingkat pengangguran terendah (TPT) bisa turun ke 5,5% hingga 6,3% tahun depan.
“Berarti kurang lebih tidak akan terlalu jauh jika dibandingkan posisi peningkatan tertinggi pada pandemi 2020, bahkan masih lebih tinggi targetnya dibandingkan kondisi sebelum pandemi.” ujarnya.
Kondisi pengangguran menurutnya masih berpeluang turun, dengan syarat kondisi mobilitas mulai melonggar beberapa bulan mendatang. Relaksasi PPKM Level 1-4 akan menggerakkan kembali ekonomi dan mendorong penciptaan lapangan kerja baru. Hal ini kata dia terlihat pada laporan pengangguran periode Februari 2021, TPT tercatat 6,26%, turun dari periode Agustus 2020 7,07%.
Ia menyarankan agar pemerintah bisa lebih mendorong program padat karya, terutama di sektor yang membutuhkan kemampuan tidak terlalu susah. Hal ini untuk menyesuaikan dengan kapasitas masyarakat. Beberapa contoh sektor yang bisa diupayakan yakni sektor pertanian dan perkebunan, kemampuan yang dibutuhkan tidak serumit pekerja untuk sektor teknologi.
*The Fed Berencana Akan Tapering Off, Ekonomi RI pasti akan terdampak*
Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, meminta pemerintah Indonesia sudah menyiapkan antisipasi kemungkinan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) mengurangi stimulus atau tapering off. Hal tersebut disampaikan dalam Zoominari Kebijakan Publik
Tauhid menilai kebijakan moneter Amerika Serikat tersebut memang harus dilakukan, karena kalau tidak akan berdampak ke internal. Ia merasa pengaruh tapering off AS akan berdampak besar ke Indonesia.
“Ini kan soal momentum kapan, tentu saja ini pengaruhnya ke kita ke suku bunga, inflasi, pengangguran, dan lain-lain saya kira cukup besar,” kata Tauhid saat webinar yang digelar Narasi Institute, Jumat (20/8).
Tauhid mengungkapkan risiko secara langsung dari adanya tapering off adalah nilai tukar rupiah ke dolar AS yang cenderung melemah. Selain itu, arus modal asing juga bakal terdampak.
“Pergerakan arus modal asing keluar masuk itu sulit terkontrol. Saya kira memang risiko ini sudah di depan mata, nyata,” ujar Tauhid. Tauhid merasa peran Bank Indonesia (BI) dalam mengatasi kondisi tersebut sangat penting. Menurutnya, BI tidak bergantung dengan menaikkan suku bunga tetapi harus ada intervensi lainnya karena berkaitan dengan inflasi juga.
“Kekhawatiran kita nanti akhirnya pemerintah akan kesulitan karena dukungan BI melemah karena situasi ini otomatis dukungan ke APBN juga menjadi kurang. Situasi terburuk pasti akan terjadi efisiensi dan sebagainya,” tutur Tauhid.
Reporter : Ida