Lpk | Surabaya – Penelitian GASBIN “Riset aksi tentang peningkatan kemampuan linguistik forensik bagi penyidik Polri ” di Polda Jawa Timur. Dilakukan oleh Kapuslitbang Polri Brigjen Pol. Drs. Guntur Setyanto.
Hal ini perlu dilakukan untuk diketahui bahwa penguasaan linguistik forensik dalam penegakan hukum itu sangat penting. Karena menyangkut penerapan pengetahuan, metode dan wawasan linguistik pada konteks forensik hukum, bahasa, investigasi kejahatan, persidangan dan prosedur peradilan.
Sebagian orang awam mungkin termasuk pada kosa kata yang sangat jarang didengar. Begitupun ketika disiplin ilmu tersebut akan diimplementasikan dalam proses penegakan hukum, sebagian orang akan bertanya lagi tentang maksud dan fungsinya.
Kapuslitbang Polri Brigjen Pol. Drs. Guntur Setyanto mengungkapkan, bahwa istilah linguistik forensik pertama kali muncul pada tahun 1968 ketika Prof. Jan Sbarvik menggunakannya dalam analisis pernyataan Timothy John Evans. Dimana ia menemukan berbagai penanda gaya yang terlibat. Evans tidak benar-benar memberikan pernyataan kepada petugas polisi seperti yang telah dinyatakan dalam persidangan.
“Sementara itu di Amerika Serikat juga ada kasus Ernesto Miranda tahun 1963. Kasusnya mengarah pada penciptaan Hak Miranda dan mendorong fokus linguistik forensik pada pernyataan saksi daripada pernyataan polisi. Berbagai kasus muncul yang menantang apakah tersangka benar-benar memahami apa artinya hak-hak mereka yang mengarah ke perbedaan gaya interogasi koersif versus sukarela,” jelas Kapuslitbang Polri Brigjen Pol. Drs. Guntur Setyanto, Rabu (3/3/2021), kepada wartawan Lpk Nusantara Merdeka www.tabloidlpk.or.id
Beragamnya tipe Polsek, seperti Polsek Metro, Polsek Urban, Polsek Rural dan Polsek Pra Rural yang tersebar di satuan kewilayahan dengan beban tugas dan persoalan yang berbeda-beda seringkali mengabaikan aspek pemeliharaan. Padahal disisi lain, masyarakat mengharapkan Mako Polsek bisa menjadi “Rumah Aman” sehingga tidak ditemukan kondisi yang tidak sehat, tidak aman dan tidak nyaman saat mereka mendatangi Mako Polsek.
Secara substantif ada tiga bidang penerapan ilmu linguistik forensik dalam proses penegakan hukum. Yaitu, yang pertama memahami bahasa hukum tertulis. “Kedua memahami penggunaan bahasa dalam proses forensik dan peradilan dan yang tetakhir penyediaan bukti linguistik. Jadi linguistik forensik itu merupakan bidang linguistik terapan yang melibatkan hubungan antara bahasa, hukum dan kejahatan,” tambahnya.
Berdasarkan fakta tersebut, maka dibutuhkan personil Polri/Penyidik yang memiliki kemampuan tersebut, sehingga dapat memahami antara permasalahan hukum dan kebahasaan seperti pada kasus yang sudah disebutkan diatas.
Kehadiran riset aksi tentang linguistik forensik sebagai salah satu upaya peningkatan kemampuan penyidik dalam ilmu lingusitik diharapkan dapat dijadikan solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut.
“Dengan bantuan linguistik forensik, diharapkan seorang penyidik dapat lebih mudah dalam melakukan proses penyelidikan dari aspek grammatical, karena belum banyak penyidik kepolisian yang mengetahui dan menguasainya,” sebutnya.
Selain itu, penelitian dilakukan mulai dari tanggal 1 Maret sampai 5 Maret 2021. Yang dipimpin oleh Kombes Pol Drs. M. Asrul Azis, yang beranggotakan AKBP Wadi, dengan pembina Budi Triyanto dan Iptu Gustika Sitanggang.
Selain itu, Brigjen Guntur juga menyebutkan apabila pendekatan penelitian adalah dengan pendekatan mix method. “Sedangkan teknik pengumpulan data selama penelitian dilakukan dalam dua teknik yaitu wawancara mendalam kepada informan kunci dan pemgisian kuesioner kepada responden yang ditunjuk,” pungkasnya. (ir)