Lpk | Nganjuk – Keseriusan dunia pendidikan berbenah dipertanyakan. Seperti pepatah “Banyak jalan menuju Roma”, demikian gambaran banyak cara untuk dapat tetap memungut dana liar di sekolah.
Munculnya Perpres 87 tahun 2016 tidak membuat para “penghisap darah” di dunia pendidikan putus asa. Mereka masuk melalui Komite untuk tetap melancarkan aksinya.
Apakah Komite di sekolah ilegal? Tentu tidak! Permendikbud 75 tahun 2017 dan SK Dirjen Pendis No. 2913 tahun 2016 telah mengatur tentang ini. Sayangnya pihak sekolah jarang mensosialisasikan hal ini kepada wali murid.
Salah satu contoh MTs Negeri 1 Nganjuk. Informasi awal didapatkan dari keluhan wali murid Asa (bukan nama sebenarnya). Orang tua murid yang tinggal tak jauh dari sekolah ini merasa berat jika harus membayar lebih dari 10 macam pungutan.
Kepada jurnalis, Asa mengaku bahwa kewajiban membayar pungutan ini sudah ada sejak anaknya masuk. Bila ditotal, akumulasi seluruhnya berjumlah Rp.790.000 (tujuh ratus sembilan puluh ribu rupiah) setiap tahun.
“Itu belum termasuk daftar ulang, LKS dan jariyah”, ujarnya.
Saat ditemui awak media, Asa menghela nafasnya perlahan sembari menunjukkan selembar tanda bukti pembayaran yang berstempelkan Komite sekolah, dengan rincian sebagai berikut;
– 3 Stel seragam + atribut Rp. 450.000.
– Seragam olah raga Rp. 65.000.
– Ikat pinggang Rp. 12.000.
– 2 stel kaos kaki Rp. 16.000.
– 2 Dasi Rp. 15.000.
– 1 Kain Batik yayasan Rp. 60.000.
– Jariah Pondok 1 tahun Rp. 10.000.
– Idul Adha (Qurban) Rp. 30.000.
– Kartu pelajar dan foto Rp. 15.000.
– Aksioma/KSM Rp. 40.000.
– PHBI/PHBN Rp. 50.000.
– Kalender Rp. 15.000.
– Kebersihan (Sampah) 12 bulan Rp. 12.000.
Seolah masih belum puas, bapak berusia 40 tahunan ini mengisyaratkan pada istrinya untuk mengambil sesuatu. “Ma jiko’en kwitansi ndek lemari”, perintahnya.
Sesegera menerima dari istrinya, asa berkata “monggo” sambil menyerahkan 3 lembar kwitansi bukti pembayaran.
Yang pertama ada keterangan angsuran daftar ulang sebesar empat ratus ribu lengkap dengan stempel.
Lembar berikutnya berisi keterangan pembayaran LKS sebesar seratus dua puluh ribu rupiah lengkap dengan tanda tangan Sri Widarti. S.Pd dengan NIP 19740418200710200.
Kwitansi terakhir yang masih sangat rapi berisi keterangan Jariyah. Lembar ini lengkap dengan stempel Komite dengan nominal pembayaran dua puluh ribu rupiah.
Medapatkan data dan keterangan ini,awaknmedia langsung menuju sekolah untuk meminta konfirmasi. Sayang awak media tidak dapat bertemu dengan kepala MTs.
“Pak kepala sedang rapat, kami tidak berani menghubungi, monggo silahkan datang hari senin saja”, ujar seorang yang mengaku sebagai Wakesek.
Ketika awak media mengkonfirmasi ulang pada hari senin (27/7), sambungan seluler diterima oleh petugas tata usaha. Terhadap persoalan yang dimintakan konfirmasi, petugas seolah tidak serius dan meminta pihak media menghubungi kembali.
Di waktu yang berbeda, sekitar 1 bulan sebelum permasalahan ini terungkap, tim jurnalis pernah meminta keterangan dari Prof. Sumarji selaku ketua dewan pendidikan kabupaten nganjuk.
Sumarji mengatakan bahwa di lingkup sekolah dasar dan menegah pertama kabupaten Nganjuk tidak dibenarkan lagi melakukan pungutan.
“Penghimpunan dana melalui Komite sekolah dibenarkan dengan beberapa catatan. Pertama, sifatnya urgen. Berikutnya harus diketahui kepala sekolah dan disetujui seluruh wali murid. Terakhir harus ada berita acara”, demikian keterangan Sumarji.
Menimpali permasalahan ini, Dirjen Pendidikan Islam melalui Humas Kemenag Kanwil Jatim mengatakan bahwa pemungutan seperti itu memang menjadi tanggung jawab Komite Madrasah.
“Itu menjadi tanggung jawab Komite Madrasah, sebagaimana sudah diatur pada SK Dirjen Pendis Nomor 2913 Tahun 2015 tentang Struktur Organisasi dan Pengelolaan Dana Komite Madrasah. Tks”, demikian balas WA chat dari humas.
Sewaktu dikonfirmasi lebih lanjut tentang Perpres no 87 tahun 2016 tentang Saber Pungli, tampaknya Kementerian ini belum dapat menetukan sikap terhadap jenis-jenis pungutan ini.
Bersambung. (hry/Tim)