Lpk | Surabaya – Lagi-lagi preman bayaran peliharaan finance debt collektor bikin ulah di kota pahlawan, kali ini menimpa yeni,hanya dengan Nunggak pembayaran cicilan motor selama 2 bulan, ADIRA FINANCE Cabang Sukomanunggal Surabaya rampas paksa sepeda motor milik YENI seorang warga Menganti Gresik Anehnya, saat Yeni dateng untuk menyelesaikan pembayaran motornya pihak ADIRA malah meminta Yeny untuk melunasi semua sisa tunggakan hutangnya sebesar Rp.26.450.815 (Dua Puluh Enam juta Empat Ratus limapuluh Ribu Delapan Ratus Limabelas rupiah) Selasa,3/12/2019.
“Saya dateng ke ADIRA dengan etikat baik ingin bayar sesuai keterlambatan saya malah saya seakan di peras suruh ngelunasi semua total Dua Puluh Enam juta Empat Ratus limapuluh Ribu Delapan Ratus Limabelas rupiah” kesal Yeny.
Informasi yang dihimpun media ini, krologis kejadian peristiwa ini bermula ketika motor jenis HONDA PCX 150cc dengan Nomer kontrak 032719114472 Nomer polisi W 6217 BZ yang sedang di pake Abdul Rohman pamannya Yeny saat membeli asbes di daerah Tandes surabaya lalu tiba-tiba pihak debt collector memberhentikan motor tersebut kemudian diambil secara paksa dan dikasih kertas suruh tanda tangan.
Masa dari YALPK, JSCO, AMP, akirnya diterima anang kuncoro dan negosiasi alot, setelah berdebat panjang lebar akirnya dimediasi oleh polsek sukomanungal dengan kesepakatan yang ditandatangani para pihak.
Menanggapi persoalan tersebut, ketua umum YALPK (Yayasan Advokasi Lembaga perlindungan Konsumen) Haji Edy yang dihubungi lewat telpon selulernya menjelaskan, ” penarikan sepeda motor dengan cara memaksa/merampas dengan tipu daya appun itu merupakan tindak pidana dan sudah masuk ranah hukum, itu tugas kepolisian yang harus menangkap preman debt collektor peliharaan finance terset.
Masih edy Seharusnya, yang memiliki hak untuk menentukan putusan bahwa si Pemohon kredit bersalah atau tidak itu dari majelis hakim,jangan menghakimi dengan cara menyewa preman/Debt collektor, begitu juga dengan hak eksekutorial yang berhak melakukan penyitaan adalah pihak pengadilan, bukan preman berkedok debt collektor bayaran yang arogan begitu.” paparnya.
Edy juga menambahkan bahwa hal tersebut juga sudah jelas diatur dalam Undang-Undang (UU) Fidusia Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, jangan seenaknya aja melakukan perampasan dijalan dengan tipu daya preman mengatasnamakan debt collektor bayaran,peliharaan finance.(sun/ddy)
Eksekusi obyek jaminan fidusia dilakukan apabila debitor cidera janji (nunggak byr angsuran). Dan eksekusi dilakukan TDK perlu dari pihak pengadilan. Hal ini dijelaskan di pasal 15 dan pasal 29 UU fidusia no 42 th 1999 yg isinya ada dibawah ini :
Pasal 15
(1) Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
(2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA
Pasal 29
(1) Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara :
a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia;
b. penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
c. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
(2) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi dan Penerima Fidusia kepada pihak-pibak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.
Berkait dengan hal tersebut dapat kami sampaikan hal-hal sebagai mana berikut :
1. Bahwa perlu di perhatikan, ketentuan PASAL 29 tersebut MERUPAKAN SUATU KETENTUAN BERSYARAT, yang baru berlaku apabila syarat yang disebutkan di sana dipenuhi sebagaimana pasal 15 telah terpenuhi.
2. Bahwa jika eksekusinya didasarkan atas:
a. Pasal 29 ayat 1 (a) Undang-undang Fidusia, Yaitu berdasarkan titeleksekutorial sertifikat jaminan fidusia sesuaipasal 15 ayat(1) Undang-Undang Fidusia – yang berarti mempunyai kekuatan sebagai suatu keputusan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap – MAKA PELAKSANAANYA JUGA HARUS MENGIKUTI PROSEDUR PELAKSANAAN SUATU KEPUTUSAN PENGADILAN yang telah memiliki kekuatan hukum tetap . Maka pelaksanaannya juga harus mengikuti prosedur pelaksanaan suatu putusan pengadilan.
Sesuai dengan ketentuan tersebut serta melihat Pasal 196 ayat (3) HIR, maka “kreditu rharus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar dilaksanakan eksekusi atas benda jaminan berdasarkan title eksekutorial sertifikat jaminan fidusia”.
Atas permohonan tersebut berdasarkan Pasal 197 H.I.R.maka “Ketua akan memanggil debitur/pemberi-fidusia dan memerintahkan agar debitur / pemberi-fidusia memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya.
Setelah waktu tersebut lampau dan debitur / pemberi-fidusia tetap tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela, maka Ketua akan memerintahkan kepada juru sita untuk menyita benda jaminan”dimana atas hal tersebut kemudian dilaksanakan lelang secara umum, hal ini sesuai dengan Pasal 200 H.I.R. “Pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan menjual barang jaminan di muka umum (secaralelang) atau dengan cara yang oleh Ketua Pengadilan di anggap baik”.
b. Ketentuan Pasal 29 ayat (1b) merupakan pelaksanaan daripada Pasal 15 ayat (3) dimana, kalau kreditur melaksanakan eksekusi berdasarkan kekuasaan sendiri, menjual benda objek jaminan, maka ia melaksanakan itu berdasarkan kekuasaan sendiri, yaitu menjual benda objek jaminan. Sehingga pelaksanaannya berdasarkan parate eksekusi dan dengan itu mengambil jalur yang lain dari pada melalui grosse.
Pelaksanaan Parate Eksekusi tidak melibatkan pengadilan maupun jurusita. Kalau dipenuhi syarat pasal 29 ayat (1b) Undang-undang Fidusia kreditur bias langsung menghubungi juru lelang dan minta agar benda jaminan dilelang namun adanya putusan Mahkamah AgungNomor 3210 K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986 dan ketentuan dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang mengatakan “Untuk menjaga penyalahgunaan, maka penjualan lelang juga berdasarkan Pasal 1178 (B.W.), baru dapatd ilaksanakans etelah ada izin dari Ketua Pengadilan”.
c. Ketentuan Pasal 29 ayat (1c) MENGATUR BUKAN KESEMPATAN UNTUK MENJUAL SECARA SUKARELA, TETAPI KESEPAKATAN MENGENAI “CARA” PENJUALANNYA. Dalam prakteknya penyelesaian kredit macet yang selama ini berjalan, bagian terbesar justru dilaksanakan dengan memberikan kesempatan kepada pemberi jaminan untuk mencari sendiri pembeli dengan harga yang tinggi.
3. Bahwa menurut pendapat kami, seharusnya yang berhak meng eksekusi Objek Jaminan Fidusia bukanlah Debt Collector dan atau Pihak Ketiga tapi yang berhak meng eksekusi adalah Juru Sita dipimpin Ketua Pengadilan sebagaimana diatur dalamUU No 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 54 “Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan jurusita dipimpin oleh ketua pengadilan”.Oleh karena itu maka perusahaan leasing tidak boleh mengambil motor, mobil ataupun harta benda debitur lainnya yang jadi jaminan fidusia dengan seenaknya sendiri. Melainkan harus melalui keputusan dari Pengadilan hal ini telah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.130/PMK.010/2012 tentang pendaftaran jaminan fidusia bagi perusahaan pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia.
4. Jika Perusahaan Leasing melalui Debt Colector dan atau pihak ketiga melakukan eksekusi pada Objek Jaminan Fidusia dijalan atau dimanapun tanpa melalui Pengadilandan yang meng eksekusi objek jaminan fidusia bukan jurusita maka hal ini jelas-jalas termasuk perbuatan melawan hukum baik diatur dalam pasal 368 KUHP.
Kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia meskipun memiliki kekuatan eksekutorial tetap harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, karena Indonesia sebagai negara hukum selalu menempatkan hukum sebagai rujukan utama dalam melakukan segala tindakan.
Dalam konteks hukum perdata, eksekusi objek fidusia harus berdasarkan putusan pengadilan yang dilaksanakan oleh juru sita dipimpin oleh ketua Pengadilan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 195 ayat (1) Het Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disingkat HIR) dan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disingkat UU Kekuasaan Kehakiman) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 195 ayat (1) HIR
Keputusan hakim dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut. (Rv. 350, 360; IR. 194.)
Pasal 54 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman
Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka eksekusi objek jaminan fidusia harus tetap dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, khususnya hukum keperdataan, termasuk UUJF sebagai peraturan khusus jaminan fidusia.
Das Sollen Das Sein (apa yang ada/terjadi dan bagaimana yang seharusnya)
Yang terjadi :
1. Lembaga Pembiayaan dalam praktiknya telah melanggar UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 18. Mereka menggunakan surat kuasa dalam proses penerbitan Sertifikat Jaminan Fidusia.
2. Lembaga pembiayaan melakukan penarikan barang jaminan (Unit) tanpa adanya perintah dari ketua pengadilan melalui juru sita. Mereka menggunakan jasa Debt Collector (Penagih Hutang) untuk menakut-nakuti konsumen.
Yang seharusnya :
1. Seharusnya Lembaga Pembiayaan tidak menggunakan surat kuasa dalam proses terbitnya Sertifikat Fidusia sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.
2. Seharusnya Lembaga Pembiayaan mengajukan eksekusi jaminan fidusia melalui pengadilan dan bukan melalui pihak ketiga.
Kesimpulan :
Sesuai kajian di atas maka dapat disimpulkan bahwa walaupun Kreditor telah memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia tentunya harus dilihat bagaimana perolehan sertifikat tersebut? Jika perolehannya cacat hukum (karena adanya pelanggaran terhadap Undang-undang Perlindungan Konsumen) maka Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 1337 KUH Perdata yang menentukan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh Undang-undang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Pemegang Sertifikat Fidusia sebagai penerima fidusia tidak serta merta dapat langsung mengambil,merampas,menyandera,menerima titipan dengan paksa atau apapun tanpa adanya perintah dari Ketua Pengadilan.
Sertifikat Jaminan Fidusia bukanlah sertifikat sakti yang dapat memberikan kewenangan pada siapapun untuk mengambil jaminan/unit milik Debitor, melainkan itu adalah satu syarat/kelengkapan untuk mengajukan eksekusi melalui pengadilan.
Pengambilan, perampasan, penerimaan titipan dengan memaksa, penyitaan,pengamanan atau apapun lembaga pembiayaan menyebutnya, jika itu dilakukan oleh pihak ketiga suruhan lembaga pembiayaan adalah murni tindakan pidana dengan sanksi dan hukuman yang telah diatur dalam hukum di Indonesia.
Kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia meskipun memiliki kekuatan eksekutorial tetap harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, karena Indonesia sebagai negara hukum selalu menempatkan hukum sebagai rujukan utama dalam melakukan segala tindakan.
Dalam konteks hukum perdata, eksekusi objek fidusia harus berdasarkan putusan pengadilan yang dilaksanakan oleh juru sita dipimpin oleh ketua Pengadilan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 195 ayat (1) Het Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disingkat HIR) dan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disingkat UU Kekuasaan Kehakiman) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 195 ayat (1) HIR
Keputusan hakim dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut. (Rv. 350, 360; IR. 194.)
Pasal 54 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman
Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka eksekusi objek jaminan fidusia harus tetap dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, khususnya hukum keperdataan, termasuk UUJF sebagai peraturan khusus jaminan fidusia.
Das Sollen Das Sein (apa yang ada/terjadi dan bagaimana yang seharusnya)
Yang terjadi :
1. Lembaga Pembiayaan dalam praktiknya telah melanggar UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 18. Mereka menggunakan surat kuasa dalam proses penerbitan Sertifikat Jaminan Fidusia.
2. Lembaga pembiayaan melakukan penarikan barang jaminan (Unit) tanpa adanya perintah dari ketua pengadilan melalui juru sita. Mereka menggunakan jasa Debt Collector (Penagih Hutang) untuk menakut-nakuti konsumen.
Yang seharusnya :
1. Seharusnya Lembaga Pembiayaan tidak menggunakan surat kuasa dalam proses terbitnya Sertifikat Fidusia sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.
2. Seharusnya Lembaga Pembiayaan mengajukan eksekusi jaminan fidusia melalui pengadilan dan bukan melalui pihak ketiga.
Kesimpulan :
Sesuai kajian di atas maka dapat disimpulkan bahwa walaupun Kreditor telah memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia tentunya harus dilihat bagaimana perolehan sertifikat tersebut? Jika perolehannya cacat hukum (karena adanya pelanggaran terhadap Undang-undang Perlindungan Konsumen) maka Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 1337 KUH Perdata yang menentukan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh Undang-undang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Pemegang Sertifikat Fidusia sebagai penerima fidusia tidak serta merta dapat langsung mengambil,merampas,menyandera,menerima titipan dengan paksa atau apapun tanpa adanya perintah dari Ketua Pengadilan.
Sertifikat Jaminan Fidusia bukanlah sertifikat sakti yang dapat memberikan kewenangan pada siapapun untuk mengambil jaminan/unit milik Debitor, melainkan itu adalah satu syarat/kelengkapan untuk mengajukan eksekusi melalui pengadilan.
Pengambilan, perampasan, penerimaan titipan dengan memaksa, penyitaan,pengamanan atau apapun lembaga pembiayaan menyebutnya, jika itu dilakukan oleh pihak ketiga suruhan lembaga pembiayaan adalah murni tindakan pidana dengan sanksi dan hukuman yang telah diatur dalam hukum di Indonesia.
Mantap sekali jawaban dari admin, jelas singkat, dan nyata. Terima kasih min telah menambah pengetahuanku mengenai UU fidusia.
Sukses selalu min, semoga semakin jaya.