Lpk | Pacitan – Ada pepatah yang berbunyi, ” SEPI ING PAMRIH RAME ING GAWE”, kalimat tersebut adalah sebuah ungkapan dari bahasa JAWA yang memiliki arti ; ” SEDIKIT MENGHARAPKAN IMBALAN, BANYAK BEKERJA”. Ungkapan tersebut mengandung arti yang menjunjung nilai luhur bagi kita sebagai orang timur, dimana kita di beri nasehat untuk tidak selalu mendasarkan pekerjaan karena imbalan. pepatah tersebut meg indentikkan dari sebuah ke iklasan. Apa itu iklas?

Sugeng menceritakan berdasarkan data bahwa Ikhlas adalah sebuah kata yang mudah diucapkan namun tidak mudah dilaksanakan. Banyak nasehat supaya kita selalu bekerja dengan ikhlas agar hidup lebih tenang dan bahagia. Namun ternyata semua itu tidaklah mudah dalam mengerjakan ibadah dan beramal saleh dengan benar-benar ikhlas. Kebalikannya dari ikhlas adalah riya’ .    Jikalau ikhlas hanya berharap balasan amal dari Allah, sedangkan riya’ berharap balasan dari manusia, walaupun sekedar ucapan terimakasih.

” Dalam merealisasikan perbuatan baik, orang bisa menjadi cemas bila terjebak oleh narasi sebagian orang yang menyatakan bahwa riya’ menghapuskan amal saleh, dan seseorang tidak mendapat pahala dari amal yang dia lakukan apabila masih ada riya’. Bahkan ia telah berbuat dosa yang akan dia peroleh akibatnya pada hari Kiamat bila masih ada riya’ di dalam hatinya”, kata Sugeng.

Salinan dari Sugeng, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya”.

” Maka dari itu, kita perlu memahami makna ikhlas secara menyeluruh. Hakekat ikhlas sering diilustrasikan dengan filosofi gula dan kopi,” lanjutnya.

Ada sebuah Filosofi Ikhlas Gula dan Kopi ;

Bila gula dicampur kopi dan dimasak dengan air namanya “Kopi Manis”, bukan Kopi Gula. Disitu nama gula tidak disebut.

Bila gula dicampur teh dan dimasak dengan air namanya “Teh Manis”, bukan Teh Gula. Disitu nama gula juga tidak disebut.

Tetapi jika rasa kopinya pahit, siapa yang disalahkan? Tentu gula-lah yang disalahkan, karena terlalu sedikit hingga rasanya menjadi pahit.

Dan jika rasa kopi terlalu manis, siapa yang disalahkan? Tentu gula lagi yang disalahkan, karena terlalu banyak hingga rasanya menjadi kemanisan.

Namun jika takaran kopi & gula imbang, siapa yang dipuji…? Tentu semua akan berkata… “Kopinya mantaaap.” Gula tidak mendapat pujian.

Begitulah fenomena kehidupan. Kadang kebaikan tak pernah disebut orang, tapi kesalahan akan selalu dibesar – besarkan. . .Saya menyadari bila ada diposisi sebagai pejabat, harus mempersiapkan diri menajadi sosok pemimpin yang arif dan bijaksana, dalam mensikapi kritikan dari warga yang akan saya pimpin nanti”, pungkasnya.(red)

Loading

378 Kali Dilihat

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *