Lpk | Surabaya – Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EK-LMND) Surabaya bersama dengan Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Surabaya dan Aliansi Perempuan Indonesia Kartini (API Kartini) Surabaya mendatangi gedung DPRD Surabaya, Senin (16/12) untuk menyalurkan aspirasi masyarakat tentang polemik BPJS yang terjadi saat ini.

Massa aksi yang tergabung dari beberapa elemen kerakyatan ini menyatakan bahwa BPJS bermasalah sejak awal pendiriannya. Hal ini diperparah lagi dengan diterbitkannya Perpres No. 75 tahun 2019 yang berisi kebijakan tentang naiknya tarif iuran BPJS sebanyak 2 kali lipat yang mulai berlaku per 1 Januari 2020.

Farhan Dalimunthe selaku koorlap aksi menyampaikan bahwa kenaikan tarif iuran BPJS tidak menjamin BPJS kedepannya akan mengalami perbaikan.

“Selama ini Pemerintah, BPJS Kesehatan dan para pendukungnya menyatakan bahwa penyebab defisit dan masalah BPJS Kesehatan berasal dari masih kecilnya iuran dan rakyat yang tidak patuh membayar iuran. Mereka sepakat kenaikan iuran adalah solusi. Padahal faktanya di lapangan, masyarakat yang menunggak iuran BPJS tidak akan mendapat pelayanan dari rumah sakit. Belum lagi pemerintah setiap tahunnya sudah mengeluarkan anggaran tambahan untuk menambal defisit BPJS tapi masih saja BPJS defisit setiap tahun.”, ujar Farhan.

Menurutnya, selain pengelolaan anggarannya yang terus defisit dari tahun ke tahun, filosofi yang dianut BPJS sangat berorientasi pada profit. BPJS bukan lagi menjadi pelaksana layanan kesejahteraan sosial tapi sudah menjadi Asuransi kesehatan yang mewajibkan masyarakat membayar premi. Padahal, jika merujuk ke mandat Konstitusi (UUD 1945 pasal 28 H), kesehatan dinyatakan sebagai hak bukan kewajiban.

Anggota DPRD Surabaya fraksi Golkar dari Komisi A Arif Fathoni saat menerima massa aksi mengatakan, DPRD Kota Surabaya memastikan akan menjadikan masukan ini sebagai prioritas pembahasan.

“Sebelumnya saya memohon maaf karena seharusnya yang menemui kawan-kawan adalah anggota DPRD dari Komisi D yang membidangi Kesra, sedangkan saya dari Komisi A. Kebetulan Komisi D hari ini sedang ada kunjungan ke luar kota. Akan tetapi saya akan menyampaikan masukan ini kepada Komisi D agar dapat mengundang kawan-kawan secepatnya dan mendiskusikan polemik BPJS ini bersama.”, ujar Fathoni.

Selain LMND, Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Surabaya yang diwakili oleh Joko Permono juga mendesak DPRD Kota Surabaya serta Pemerintah Kota Surabaya untuk menentukan sikap terkait polemik BPJS ini.

“Pemerintah Kota Surabaya harus memiliki sikap yang jelas untuk menyikapi polemik ini. Ntah mendukung kenaikan tarif iuran BPJS yang artinya harus siap mengalokasikan APBD yang lebih besar untuk mencover peserta PBI BPJS atau sejalan dengan kami untuk membubarkan BPJS dan membentuk Jaminan Kesehatan Rakyat Semesta (Jamkesrata).”, ujarnya.

Dalam kegiatan hearing yang dilakukan oleh LMND, SRMI dan API Kartini Surabaya di gedung DPRD Kota Surabaya kali ini mereka menyerahkan satu dokumen kajian yang berisi analisa kegagalan BPJS dan rumusan solusi untuk mengganti BPJS dengan Jaminan Kesehatan Rakyat Semesta (JAMKESRATA). Jamkesrata merupakan sebuah sistem jaminan kesehatan yang menjamin hak setiap Warga Negara untuk bisa mengakses layanan kesehatan, tanpa diskriminasi dan rintangan biaya alias gratis.

Dari pertemuan tersebut, segala aspirasi serta solusi yang diajukan telah diterima oleh Komisi A DPRD yang nantinya akan diteruskan ke pusat. Maka dari itu LMND Surabaya bersama Serikat Rakyat Miskin Indonesia sangat mengharapkan timbal balik atau sikap yang akan diambil oleh pihak pemerintah daerah dalam bentuk apapun.

Dalam dokumen kajian yang telah diterima oleh Arif Fathoni selaku perwakilan DPRD Kota Surabaya ini berisi kesimpulan:

1. Bahwa jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan adalah hak seluruh warga negara Indonesia (rakyat semesta) yang wajib dipenuhi oleh negara, sesuai Konstitusi (UUD 1945) dalam kerangka kemanusiaan yang adil dan beradab demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Bahwa dalam ketentuan umum (Pasal 1 ayat (3)) UU No. 40 /2004 dan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) yang memuat prinsip-prinsip asuransi telah menyalahi prinsip jaminan sosial sesuai konsitusi. Sehingga pelaksanaannya menjadi bermasalah dan akan terus merugikan rakyat dan negara.

3. Bahwa jaminan sosial tidak bisa diselenggarakan dengan sistem atau prinsip asuransi sosial.

4. Bahwa secara konsepsi maupun operasional BPJS telah gagal menjamin hak rakyat atas jaminan kesehatan sebagaimana amanat konstitusi.

5. Kegagalan BPJS tersebut di atas dibuktikan dengan: 1) tuntutan adanya iuran wajib dari warga negara; 2) defisit dari tahun ke tahun yang terus meningkat; 3) beban anggaran negara dan pemerintah daerah sangat besar tapi output pelayanan seringkali mengecewakan (bandingkan dengan Jamkesmas); 4) birokratisme yang berbelit-belit sehingga seringkali mengorbankan hak rakyat yang membutuhkan pengobatan/perawatan; 5) prinsip gotong royong yang telah termanipulasi seperti dijelaskan di atas, serta; 6) klaim fiktif dan korupsi yang merajalela.

6. Bahwa komersialisasi di sektor kesehatan telah berperan besar dalam membengkaknya biaya kesehatan dari tahun ke tahun.

Maka dari itu LMND Surabaya bersama dengan SRMI dan API Kartini Surabaya mendesakkan solusi sebagai berikut :

1. Mencabut UU SJSN dan UU BPJS. Konsekuensinya adalah BPJS dibubarkan. Sebelum dibubarkan harus dilakukan audit menyeluruh terhadap BPJS dan seluruh rekanan yang terkait.

2. Wujudkan Jaminan Kesehatan Rakyat Semesta (JAMKESRATA), yang menjamin seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali dengan standart layanan yang layak.

3. Jamkesrata merupakan bagian dari upaya negara untuk memberikan jaminan kesehatan yang promotif, preventif dan rehabilitatif. Oleh karena itu harus dilaksanakan secara langsung oleh negara melalui Kementerian Kesehatan.

4. Negara mengalokasikan Rp. 10,000,- (sepuluh ribu rupiah) per warga negara setiap bulan untuk seluruh 270 juta WNI tanpa kecuali. Dengan skema ini negara mencadangkan (10,000 x 12 bulan x 270 juta penduduk) sekitar 32,400,000,000,000 (tiga puluh dua triliun empat ratus miliar rupiah) setiap tahun. Angka di atas jauh lebih kecil dibandingkan subsidi pemerintah untuk 96,8 juta PBI dari APBN ditambah 37,1 juta PBI dari APBD. Bahkan apabila alokasi dinaikkan jadi Rp. 20,000,- per warga negara (jadi total 64,8 triliun), pemerintah tetap dapat menghemat anggaran dalam jumlah yang besar.

5. Pemerintah Daerah dapat berpartisipasi dalam JAMKESRATA melalui alokasi APBD tapi tidak membatasi rakyat untuk berobat di manapun dalam wilayah Indonesia. Oleh karena itu data atau nomor kepesertaannya dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

6. Untuk mendukung program JAMKESRATA pemerintah harus membangun fasilitas kesehatan secara massal dan merata di seluruh Indonesia serta melakukan pengembangan (riset) untuk penyediaan obat-obatan generik berkualitas.

7. Pemerintah juga wajib mengembangkan konsep hidup sehat, terutama pada faktor perilaku dan lingkungan sehat yang berkontribusi 70% terhadap kesehatan manusia di samping kelainan bawaan dan akses kesehatan (30%).

8. Rasio jumlah dokter di Indonesia masih sangat kurang, yaitu 1 dokter untuk 5.000 penduduk. Untuk menghasilkan rasio jumlah dokter yang lebih baik maka tidak ada jalan lain kecuali pemerintah mendirikan lebih banyak fakultas kedokteran dan melakukan subsidi sekolah-sekolah tersebut.

9. Dengan sistem (Jamkesrata) ini skema pembiayaan semata-mata bersumber dari pajak (progresif) yang dihimpun melalui instrumen negara, sehingga tidak membutuhkan iuran khusus yang dijalankan oleh badan tersendiri seperti BPJS. ( ir )

Loading

426 Kali Dilihat

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *